Menghormati Tamu

Penulis:

AG. Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
(Imam Besar Masjid Istiqlal)

Di antara latihan untuk menguji kebesaran jiwa ialah sikap kita terhadap tamu. Jika kita mampu menghormati para tamu tanpa membeda-bedakan sifat dan kelasnya maka kita termasuk orang yang berjiwa besar. Hampir semua orang besar dalam lintasan sejarah menghormati para tamunya. Nabi Ibrahim tidak mau makan sendirian. Jika tidak ada tamu yang menemaninya ia pergi ke pasar mencari orang yang mau diajak makan bersama. Nabi Muhammad Saw menegaskan dan sekaligus mencontohkan dirinya sebagai orang yang sangat mencintai tamu, tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan agama. Bagi umat Islam memuliakan tamu sudah merupakan suatu keharusan, sebagaimana ditegaskan Rasulullah: “Akrim al-dhaif walau kana kafiran” (muliakanlah tamunya walaupun ia seorang kafir).
Dalam kitab-kitab Hadis ditemukan suatu bab khusus tentang kemuliaan tamu (takrim al-dhaif). Suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu non-muslim berjumlah 60 orang, 14 orang di antaranya dari kelompok Kristen Najran. Rombongan tamu dipimpin oleh Abdul Masih. Rombongan ini diterima di Mesjid dengan penuh persahabatan. Bahkan menurut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab “Al-Shirat al-Nabawiyyah”, karya Ibn Hisyam, Juz II, h. 426-428, ketika waktu kebaktian tiba, maka rombongan tamu Rasulullah ini melakukan kebaktian di dalam mesjid dengan menghadap ke arah timur. Ia tidak membeda-bedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial.

Suatu ketika Rasulullah menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semi primitif. Tiba-tiba tamu ini beranjak kesudut mesjid lalu kencing berdiri di situ. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud memukulnya. Akan tetapi Rasulullah menahannya dan memerintahkan agar kencingnya ditimbun dengan pasir. Dalam kasus lain, ketika Rasulullah Swt sedang melayani tamu dari pembesar Quraisy, tiba-tiba datang tamu lain yang kebetulan buta (Abdullah bin Ummi Maktum) lalu Rasulullah berpaling dari padanya demi menghargai pembesar Quraisy. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya Q.S. ‘Abasa/80:1-2: “‘Abasa watawalla, ‘an jaahul a’ma” (Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya”.

Kita sebagai umatnya selayaknya mencontoh etika dan pribadi Rasulullah terhadap tamu. Rencana kehadiran Presiden Obama dan rombongannya, terlepas apa dan siapapun mereka, jika bermaksud baik terhadap bangsa Indonesia, maka sebijaksananya kita menerima mereka dengan baik. Mungkin lebih banyak kemaslahatan bisa dicapai dan lebih banyak kemudlaratan bisa ditolak jika kita menerima mereka dalam suatu meja, ketimbang kita menolak mereka memasuki perbatasan wilayah kita. Kenapa harus melalui jalur konflik kalau bisa dengan jalur damai? Bukankah Allah Swt pernah menegaskan dalam Q.S. al-Nisa’/4:128 “Was-shulhu khair” (dan jalur damai itu lebih baik). Tamu tidak pernah mengurangi jatah dan rezeki kita bahkan para tamu mengundang turunnya berkah dan rezeki dari langit.

Sekiranya kita mampu konsisten memberikan penghargaan dan penghormatan kepada tamu maka keajaiban hidup selalu menyertai kita. Kita jangan hanya memberi penghargaan terhadap tamu yang bisa memberikan keuntungan tetapi juga kita harus menyamakannya dengan orang yang menuntut belaskasihan dari kita.


Sumber: https://nasaruddinumar.id/2022/09/26/menghormati-tamu/

Bagikan:

ARTIKEL LAINNYA

SSL