MENGAPA LAHIR PIKIRAN DAN SIKAP EKSTRIM (TATHARRUF)?

Penulis:

Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo/Komisioner Komnas Perempuan)

Dalam konteks keislaman, lahirnya sikap ekstrim (tatharruf) disebabkan ketidakpahaman atau ketidakselesaian di dalam tiga ranah ajaran islam. Tiga ranah itu adalah ranah Paradigma (wijhatu an-nadhar), ranah metode (al-Manhaj) dan wilayah produk (al-fiqh wa asy-syari'ah)

Dalam ranah paradigma atau biasa disebut sebagai mental model (wijhatu an-nadhar) ada kekurangsempurnaan (kesalahpahaman) setidaknya dalam [1] memahami konsep "Hukum Allah", hukum Allah itu apa? al-Qur'an itu sebagai apa, apakah ia ayat dan dalil ataukah hukum itu sendiri? [2] apakah kandungan al-Qur'an sebagai tujuan ahir, ataukah sebagai sebuah sistem dan proses (ada titik awal, tujuan antara dan tujuan ahir) [3] bagaimana hubungan fiqih, tasawwuf dan akidah disatu sisi dan syari'ah, thariqah dan hakikat di sisi yang lain? [3] bagiamana hubungan akal dan wahyu? atau dalam bahasa lain bagaimana hubungan antara ayat-ayat Qur'aniyah-Tanziliyah dan ayat Kauniyah? atau dalam bahasa yang lebih populer bagaimana hubungan antara nushsus dan maqhasidhus syari'ah?

Dari aspek metode, [1] pendekatan tekstualis, harfiah, lafdhiyyah masih menjadi pilihan utama. Apa yang dipahami dari teks, dari huruf dan dari lafadl seakan itulah agama, syari'ah atau fiqih yang paling benar. Padahal fiqih, syari'ah atau agama itu adalah hasil dari dialektika antara teks dan realitas (جدلية النص والواقع dan hasil dialektika antara "tahkriji al-manath dan tahqiqi al-manath".  Pembacaan realitas itu meniscayakan pembacaan dan perhatian terhadap "pengalaman Perempuan" khusunya ketika membaca ayat ayat tentang relasi laki-laki dan perempuan. [2] pendekatan bermadzhab qauly yang sangat kaku (الجمود على المنقولات) dan tampa kritik, seakan akan turast itua adalah islam itu sendiri, padahal islam bukan hanya yang terdapat dalam turast itu ( الإسلام فوق التراث). Pendekatan manhajy (bayani, qiyasi, mashlahi) belum menjadi pilihan yang menarik.

Dalam ranah produk fiqih, ada beberapa pemaknaan yang tidak utuh akibat dari paradigma dan manhaj yang dipilihnya. Misalnya pandangan tentang [1] Jihad yang dimaknai secara sempit, [2] makna thagut yang disematkan pada aparat negara, [3]  amar makruf nahi mungkar yang dilaksanakan dengan kemungkaran dan menimbulkan kemungkaran baru, [4] khilafah yang selalu dimaknai sebagai khilafah masa lalu, [5] larangan membangun tempat ibadah non Muslim di Dar al-Islam yang dipraktekkan dalam konteks Negara Bangsa atau NKRI yang memiliki konstitusi sendiri, [6] konsep ketaatan istri terhadap suami secara mutlak dalam situasi dan kondisi apapun, [7] konsep surga perempuan yang hanya ikut surga suami, dan banyak produk-produk fiqih lainnya.  Konsep-konsep fiqih semacam inilah yang melahirkan cara pandang ekstrim dalam beragama.

Oleh karena itu, untuk membangun moderatatisme sebagai watak dasar ajaran islam, menata kembali dan memahami kembali tiga ranah di atas, ranah paradigma, ranah manhaj dan ranah produk syrai'ah menjadi pekerjaan rumah umat beragama. Banyak tokoh-tokoh muslim, dari berbagai belahan dunia yang telah melakukan itu. Tugas selanjutnya adalah melanjutkannya, mengembangkannya dan menyebarkannya.

Wallahu a'lam  

Jakarta 12092022

Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/pfbid034PhXY3KeAb4D37M9CZtoEFtMRVcwf7gpUd6fdyogzL1MqTUSppcNu3C9aYrZw2XJl

Bagikan:

ARTIKEL LAINNYA

SSL